🐈 Kisah Kucing-kucing Saya Yang Akhirnya Harus Saya Tinggal Pergi 🐈

Saya seorang pencinta kucing sejak kecil. Hewan satu ini tidak pernah lepas dalam kehidupan saya. Mereka selalu hadir disetiap kesempatan. Saya sempat tak memelihara kucing di waktu yang cukup lama. Karena ayah saya tidak menyukai kucing. Walau akhirnya, saya bisa memelihara mereka ketika Ayah saya berusia senja. Ayah tak lagi melarang saya. Hanya ia berpesan, jangan malas membuang kotorannya. Dia membenci kotoran kucing karena baunya (tentu semua orang gak suka mencium bau kotoran kucing). 

Entah sudah berapa banyak kucing yang pernah saya pelihara. Walau akhirnya, kucing2 ini ada yang meninggalkan rumah karena satu atau lebih alasan. Tapi banyak juga yang tidak berusia panjang. Yang mati, saya kuburkan di kebun samping rumah. Karena jadi tempat pemakaman kucing, maka saya sebut tempat itu 'Pet Cemetery'. 

3 Tahun belakangan setelah kedua orang tua saya meninggal 6 tahun yang lalu, dan saya tinggal sendirian dirumah yang cukup besar, maka kucing hadir sebagai teman hidup saya. Saya wanita single hingga memasuki awal usia 40-an. Kucing adalah tempat saya mencurahkan kasih sayang.

Adalah seekor kucing yatim yang saya temukan pertama kali dibelakang rumah, yang akhirnya saya beri nama 'Bulus'. Kucing jantan yang saya temukan pertama kali diusia sekitar 3 - 4 bulan. Kucing berwarna putih dengan corak oranye tua. Dia kucing yang bersih dan wangi, yang saya fikir mungkin ada yang memiliki. Ternyata tak ada satu pun orang yang mencari. Maka dia saya adopsi. Bulus menemani hari2 saya sendirian dirumah. Kucing setia yang pernah saya miliki. Kucing yang tak pernah meninggalkan saya. Bahkan setelahnya, saya mengadopsi lebih banyak kucing. Mereka adalah kucing-kucing yatim yang sengaja dibuang di depan rumah. Karena mungkin si pembuang tahu saya seorang penyayang Kucing. Singkatnya, Selain Bulus, saya memiliki kucing yang diadopsi bernama Kecik (Jantan), Nina (Betina), Lilo (Jantan), Chiko (Jantan), Piwi (Betina), Endut (Betina), Miko (Jantan) dan Bebi (anak Piwi). Kecik mati tertabrak kendaraan di malam hari. Saya hanya melihat dia terluka parah ketika tubuhnya sempoyongan berjalan menuju teras rumah. Saya menguburkannya malam itu juga. Kemudian Miko yang Desember tahun ini tepat setahun lalu mati karena virus Panleukopenia. 

Setelah mewabahnya Covid-19 diseluruh dunia, dan memburuknya perekonomian dunia, tak terkecuali saya, Maka saya semakin kesulitan merawat kucing-kucing ini. Saya memutuskan mencari pekerjaan di kota lain. Hijrah demi kehidupan yang lebih baik. Karena hijrah saya tak bisa membawa kucing-kucing ini. Saya memutuskan untuk meninggalkan mereka dirumah saya. Mereka tinggal di halaman rumah saya yang akhirnya jadi rumah kosong. Dan makanan mereka ditopang dari pemberian tetangga dan kakak saya yang tinggal disebelah rumah orang tua yang saya tempati selama ini. Mengapa saya tidak mencari shelter untuk kucing-kucing saya ? Mengapa tidak mencari adopter ? Jawabannya, karena di kota tempat saya tinggal dulu tidak ada shelter bagi kucing terlantar. Dan saya tak menemukan adopter dengan mudah. Dan tentu saja saya tidak sampai hati membuang kucing-kucing saya ke pasar. Di pasar kehidupan mereka akan lebih sulit lagi. Setidaknya, tetangga-tetangga saya sudah mengenali kucing-kucing saya. Dan Alhamdulillah, mereka semuanya penyayang kucing. Saya beruntung tinggal di kawasan yang semuanya penyayang binatang. Saya tidak pernah khawatir kucing saya diracun atau disakiti. Karena selama ini juga, saya melepas bebas kucing-kucing saya di alam. Bebas bermain kerumah tetangga. 

Sebelum saya pindah, seminggu sebelum saya berangkat, salah satu kucing betina saya mati karena virus panleukopenia. Menambah kesedihan saya yang sudah siap untuk pindah. Piwi nama kucing itu. Kucing warna Tuxi yang mata sebelah kirinya cacat sedari kecil. Tepat tengah malam, Piwi meninggalkan dunia ini. Mungkin dia tak tega harus berpisah dengan saya. Maka dia yang meninggalkan saya terlebih dahulu sebelum saya meninggalkan dia. Paginya, setelah hujan berhenti, saya kuburkan ia di Pet Cemetery di kebun sebelah rumah saya. 

Tiba saatnya dihari saya harus meninggalkan kota ini. Saya titipkan sekantong ikan nila dan dry food kepada tetangga untuk diberikan kepada mereka di jam biasa mereka makan. Selama di kota yang baru, saya selalu menangis mengenang kucing-kucing saya ini. Mereka bagi saya adalah anggota keluarga. Bukan sekedar hewan peliharaan. Saya berdoa kepada Allah, saya titipkan mereka kepada sang maha pemberi Rezeki. Bahwa saya telah berkorban perasaan dengan meninggalkan kucing-kucing saya ini demi kehidupan saya yang lebih baik. Maka saya minta agar pengorbanan saya ini berbuah manis. Sebelum berangkat pun, saya berbicara kepada kucing-kucing saya agar menjaga diri mereka baik-baik dan mendoakan kesuksesan bagi diri saya di tempat lain. Saya yakin meski mereka tak bicara dalam bahasa manusia, mereka mengerti yang saya katakan. Sampai detik ini, saya belum bisa melupakan teman hidup berbulu saya itu. Semoga Allah selalu melindungi mereka. Dan saya berdoa kepada Allah, jika saya berhasil masuk ke dalam surga-NYA, permintaan saya adalah bisa berkumpul lagi dengan kedua orang tua saya, keluarga-keluarga yang telah mendahului dan pastinya Kucing-kucing saya yang pernah hadir dalam hidup saya. 


Ya Allah.. Perkenankan permintaan saya. Aamiin...

Comments

Popular posts from this blog

Sering Diremehkan Keluarga Sendiri, Ini 5 Sisi Positif Bagimu 💪💪💪

👳 Pelajaran Berharga Dari Guru Sufi 👳